Selasa, 31 Juli 2012

Pengorbanan ibu


Pengorbanan ibu

Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria 
berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota 
tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba 
kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah 
yang membuat sang pria jatuh hati. 

Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya 
menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka 
duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tsb. Sebagai orang yang 
terpandang di kota tsb, latar belakang wanita tsb akan merusak reputasi 
keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan 
untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah 
menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia. 

Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan 
wanita tsb bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus 
berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, 
sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, 
umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya). 

Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orang 
tuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal 
membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tsb, yang menurut 
mereka akan sangat merugikan masa depannya. 

Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia 
memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu 
keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh 
orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang ortu mengunci anaknya di 
dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar. 

Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah 
ditentukan sepasang kekasih tsb untuk melarikan diri. Sang wanita sangat 
terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon 
pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. 
Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan 
mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya 
akan tercemar, orang2 tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang 
akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan2. 

Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan 
permohonan agar wanita tsb meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan 
anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tsb dapat digunakan untuk 
membiayai hidupnya di tempat lain. 

Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar 
bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak 
kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, 
tetapi menolak untuk menerima uang tsb. Ia mencintai sang pria, bukan 
uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat 
sulit. 

Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tsb untuk 
meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih 
berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari 
kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. "Walaupun ia kelak 
bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang 
berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua", kata sang ibu. 

Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan 
bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa 
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah 
melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam 
menghadapi penolakan2 akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat 
lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah. Tetesan air 
mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. 

Sang wanita yang malang tsb tampak tidak punya pilihan lain. Ia 
terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota 
itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia 
bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya. 

Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi 
seorang ibu. Anaknya seorang laki2. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, 
untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di 
sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan 
menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua 
pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup 
berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena 
ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. Tetapi sang ibu tidak pernah 
mengeluh dengan pekerjaannya. 

Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba2 sakit keras. 
Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tsb 
harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah 
menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan 
itupun belum cukup. Ibu tsb akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada 
siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman. 

Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat 
sup ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tsb terdiri dari 
obat2 herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya 
mampu membeli obat2 herbal tsb, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk 
membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah 
berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar. 

Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat 
apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tsb telah menolak 
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. 

Diantara tangisannya, ia tiba2 mendapatkan ide. Ia mencari 
alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. 
Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil 
sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang 
tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang 
ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak 
mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat... 

Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan 
kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya 
sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang 
dilakukan oleh sang ibu. 
Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak 
yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di 
hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, 
dan bersama2 menyanyikan lagu "Shi Shang Zhi You Mama Hao" (terjemahannya,
" Di Dunia ini, Ibulah yang terbaik"). 

Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai 
penjaga toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari2 
mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang 
memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu 
ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk 
sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. 

Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia 
berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama 
ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah 
pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu 
mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain 
yang perlu dibiayai. 

Sang anak segera pergi ke toko tsb, yang tidak jauh dari 
rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan 
tsb, karena ia akan membelinya bulan depan. "Apakah kamu punya uang?" tanya 
sang pemilik toko.. "Tidak sekarang, nanti saya akan punya", kata sang anak 
dengan serius. 

Ternyata, bulan depan sang anak benar2 muncul untuk membeli jam 
tangan tsb. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main2. Ketika 
menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya "Dari mana kamu mendapatkan uang 
itu? Bukan mencuri kan?". "Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari 
ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama 
sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang 
jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi 
ini semua untuk ibuku. Oh ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan 
marah" kata sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tsb. 

Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang 
anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan 
tsb. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan 
ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba2 tersadar, dari mana uang 
untuk membeli jam tsb. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab. 

"Apakah kamu mencuri, Nak?" Sang anak diam seribu bahasa, ia 
tidak ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah 
ditanya berkali2 tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah 
mencuri. "Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah 
mengajari kamu tentang hal ini?" kata sang ibu. 

Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu 
sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak 
menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, 
karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi 
kebaikan anaknya. 

Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju 
ke rumah tsb heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. 
"Ia sebenarnya anak yang baik", kata salah satu tetangganya. Kebetulan 
sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya 
yang merupakan familinya. 

Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak 
itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk 
menjelaskan. Tetapi tiba2 sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon 
agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya. 

"Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan 
tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya". Sang anak mengikuti nasehat 
kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba2 
muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan 
tsb, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di 
tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga 
menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke 
rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang 
membeli jam tangan kesukaan ibunya. 

Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan 
hal tsb, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak 
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu?."Maafkan saya, Nak." 
"Tidak Bu, saya yang bersalah"???.. 

Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, 
tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang ortu sangat sedih akan 
hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. 

Ketika sang ibu dan anaknya berjalan2 ke kota, dalam sebuah 
kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru 
menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. 
Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya 
hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa 
bantuanmu. 

Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka 
begitu ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan. 

Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter 
mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang 
konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. 

Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. 
Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya. 

Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan 
solusi yang tepat. Satu2nya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada 
sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya. 

Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya 
berkeliling kota, bermain2 di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, 
menyanyikan lagu "Shi Shang Zhi You Mama Hao", lagu kesayangan mereka. Untuk 
sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam 
kegembiraan bersama sang anak. 

Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. 
Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin 
dengan ibu. "Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak" kata ibu. 
"Tidak apa2 Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa 
bersama2 dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang 
untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja 
lagi, Bu", kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang 
ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat. 

Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya 
sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang 
anak meronta2 ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan 
kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang 
anak menolak. "Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu", teriak sang anak 
dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata 
"Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan 
nenek akan bermain bersamamu." "Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau 
ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau 
saya lagi", sang anak mulai menangis. 

Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tsb 
tidak didengarkan anak kecil tsb. Sang anak menangis tersedu2 "Kalau ibu 
sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu". Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa 
dengan mengatakan "Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini", 
ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tsb. Tampak anaknya meronta2 
dengan ledakan tangis yang memilukan. 

Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu 
menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan 
menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. 
Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah 
kehilangan satu2nya alasan untuk hidup, anaknya tercinta. 

Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk 
memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya 
mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk 
mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri 
itu dibatalkan, demi anaknya juga. 


Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, 
mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun 
tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan. 

Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. 
Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah 
mengumpulkannya. Maka, pada hari tsb, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang 
ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang 
memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, 
sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu 
ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan 
memberikan semuanya untuk ibu. 

Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju 
rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah 
kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu 
kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di 
depan rumah tsb, menangis "Ibu benar2 tidak menginginkan saya lagi." 

Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah 
terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan 
semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar. 
Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi 
pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang. 

Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba2 ia teringat sesuatu. Hari ini 
adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya 
mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil 
menuju rumah tsb. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, 
setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu 
tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan2 imut anaknya dalam 
surat itu. 

Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tsb, tanpa 
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu 
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia 
memohon agar bisa menemukan anaknya. 

Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba2 ingat bahwa ia dan anaknya pernah 
pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tsb. Ibunya pernah berkata, bahwa bila 
kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. 
Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya 
memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tsb untuk memohon agar 
bisa bertemu dengan dirinya. 

Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia 
pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk 
dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari 
tangga, dan berguling2 jatuh ke bawah... 

Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki 
bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan 
ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak 
telah banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana2, tetapi hasilnya 
nihil. 

Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan 
teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di 
persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang 
mengemis. Ibu tsb terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak 
pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak 
berkomat-kamit. 

Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar 
untuk menghampiri pengemis tua itu. Ternyata sang pengemis tua sambil 
mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah 
"Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?" 

Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera 
menyanyikan lagu "Shi Shang Zhi You Mama Hao" dengan suara perlahan, tak 
disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka 
berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu 
menyanyikan lagu tsb saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua 
itu dan berteriak dengan haru "Ibu? Ini saya ibu". 

Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba2 muka sang anak, lalu bertanya, 
"Apakah kamu ??..(nama anak itu)?" "Benar bu, saya adalah anak ibu?". 
Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi 
bumi...

Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya 
menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus 
mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang 
menganggapnya sebagai orang gila. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar